Sulit Untuk Dilewatkan, Festival Ithuk – Ithukan Akan Digelar Besok Dipagi Hari
LINTASMATRA.COM – BANYUWANGI. Banyuwangi. festival budaya banyuwangi akan kembali menampilkan Festival Ithuk – ithukan yang akan digelar pada Selasa dan Rabu (24 – 25 Juli 2018), yang akan dimulai sekitar jam 7 pagi di Dusun Rejopuro, Desa Karanganyar, Glagah, Banyuwangi.
Memiliki kekayaan alam yang melimpahruah tidak membuat daerah seribu budaya ini luapa akan sang pemberi rahmat. Bahkan rasa syukur itu kerap diwujudkan dalam bentuk festival. hal inilah yang membuat banyuwangi tidak pernah habis tradisi budayanya, bahkan sampai – sampai beberapa kegiatan ini masuk dalam kalender festival banyuwangi.
Tradisi Ithuk – ithukan sendiri merupakan bentuk syukur warga atas sumber air di desanya yang melimpah dan tidak pernah kering. festival ini biasanya di laksanak pada sumber – sumber air. dimana warga berdatangan sambil membawa sajian berupa satu porsi nasi lengkap dengan lauk-pauk berisi tahu, manisan (labu siam), sayur pakis dan terong dengan daun pisang sebagai alasnya. Ada pula sajian tumpeng pethetheng yaitu tumpeng dengan ayam utuh yang dibakar.
Ritual diawali dengan mendoakan ithuk dan tumpeng pethetheng. Kemudian para wanita dusun berbaris rapi membawa ithuk-ithukan berjalan ke arah timur menuju balai desa kemudian berputar arah menuju arah barat ke sumber mata air.
Nantinya ithuk-ithukan yang dibawa ini akan dinikmati di bersama-sama di sumber mata air. Acara dilanjutkan dengan hiburan musik Kuntulan dan pada malam harinya akan ditutup dengan pembacaan lontar.
Tradisi Ithuk-Ithukan sendiri pada tahun – tahun sebelumnya terselenggara dengan begitu meriah. sekitar 1.000 ithuk-ithukan disediakan oleh warga. tradisi sejak zaman leluhur ini bertujuan untuk menjalin silaturahmi sesama warga dusun.
Menurutnya, diadakan setiap 12 Dzulkaidah mesti kepethuk (ketemu), artinya sesama warga ketemu. Jumlah ithuk sebagai pertanda hari ini jangan ada masyarakat yang lapar.
Sarino selaku panitia menerangkan nama dusunnya berasal dari Rejo yang berarti ramai dan Puro dari sepuro yang berarti memaafkan. Hal ini bermakna semakin banyak yang datang ke dusunnya menambah keramaian namun dalam suasana yang damai saling memaafkan.
“Kalau kata buyut jadi dusun jadi ramai, sudah ada saudara (ditambah) ada orang datang makin ramai. Namun dalam suasana penuh memaafkan,” bebernya.
Sementara menurut Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, tradisi Ithuk-ithukan ini merupakan cara masyarakatnya mensyukuri air sebagai sumber kehidupan. Dia mengapresiasi nilai-nilai kedaerahan yang melekat dan terus dilestarikan oleh warga Rejopuro.
“Ithuk-ithukan sebelum dimakan harus diarak dulu ke sumber air. Bagaimana orang dulu menghormati sumber air, air itu diselamati karena sumber kehidupan. Sumber mata air itu diselamati, warga bertemu kemudian saling mengenal satu sama lain,” kata Anas.
Dalam tradisi tersebut setiap warga Rejopuro ikut menikmati ithuk-ithukan yang sudah diarak dan didoakan. Bahkan bagi warga yang sakit dan tidak bisa ikut serta ithuk-ithukan diantar ke rumahnya. Anas pun menekankan nilai-nilai kebersamaan ini layak dicontoh.
“Hal-hal inilah maka orang kota perlu belajar ke orang desa. Sehingga tercapai harmoni antara alam, masyarakat dan lingkungan bisa terwujud,” katanya.
Bupati dua periode ini menambahkan leluhur telah mengajarkan kita untuk hidup sehat dan senantiasa bersyukur. Agar mengena, Anas kemudian bercanda soal tiga pola hidup yang harus dijalani oleh masyarakat.
“Ayam pethetheng ini kan dibakar lemaknya keluar sehingga sehat, ini makanan sehat. Banyak orang tidak sehat karena pola makan. Kedua pola hidup yang sederhana tidak punya pikiran dan ketiga kakean polah (banyak tingkah) macem-macem,” kata Anas.
“Mbah buyut mengajarkan cara hidupnya benar. Saya senang masyarakat di dusun Rejopuro. Rejoning disepuro bagaimana hidup ramai tapi dalam penuh keampunan. Orang hidup kalau penuh pengampunan dari Allah itu bahagia,” pungkasnya
Abdullah Azwar Anas juga menambahkan, tradisi ini merupakan salah satu kearifan lokal yang mengajarkan kita untuk senantiasa menjaga keseimbangan alam. Kenduri yang digelar di sumber air, menandakan begitu pentingnya setiap manusia untuk menjaga sumber air sebagai salah satu sumber kehidupan manusia.(Red/Seagate).