LINTASMATRA.COM – MALANG. Di kutip dari WIKIPEDIA, Cap Go Meh (Ejaan KBBI: Capgome; HANZI: 十五暝) melambangkan hari ke-15 dan hari terakhir dari masa perayaan Tahun Baru Imlek bagi komunitas Tionghoa di seluruh dunia.
Istilah ini berasal dari Dialek Hokkien dan secara harafiah berarti hari kelima belas dari bulan pertama (Cap = Sepuluh, Go = Lima, Meh = Malam). Ini berarti, masa perayaan Tahun Baru Imlek berlangsung selama lima belas hari.
Perayaan ini dirayakan dengan jamuan besar dan berbagai kegiatan. Di Taiwan ia dirayakan sebagai Festival Lampion. Di Asia Tenggara ia dikenal sebagai hari Valentine Tionghoa, masa ketika wanita-wanita yang belum menikah berkumpul bersama dan melemparkan jeruk ke dalam laut suatu adat yang berasal dari Penang, Malaysia.
Di Indonesia sendiri khususnya di Kota Malang, tradisi Cap Go Meh juga sudah ada sejak lama, seperti halnya yang dilakukan oleh komunitas Pemandu Wisata Sejarah (PWS) Kota Malang yang menghadiri acara Cap Go Meh di Kelenteng Eng An Kiong yang terletak di Jl.Martadinata Kota Malang.
Kunjungan yang dilakukan pada hari Sabtu (8/2/20) lalu, rombongan diterima langsung oleh
humas sekaligus pemimpin rohani kelenteng Eng An Kiong “Bunsu Anton.”
Kepada rombongan dan masyarakat yang hadir, Bunsu Anton menyampaikan sejarah kelenteng dan menjelaskan makna acara Cap Go Meh yang merupakan bentuk syukur kepada Tuhan atas Tahun Baru (bentuknya dengan membagikan rejeki kepada semua warga tanpa pandang agama).
Kepada media lintasmatra.com, salah satu rombongan dari PWS, Ratna Arya menyampaikan, “Ya dalam giat ini PWS bersilahturahmi dengan komunitas lintas agama dalam perayak-an tradisi Cap Go Meh.”
“Jejaring ini merupakan bentuk keikutsertaan Pemandu Wisata Sejarah (PWS) dalam menjaga harmonitas dalam keberagaman,” terangnya.
“Ini juga sebagai bukti bahwa di Malang masih ada saling toleransi antar umat beragama, dan giat ini harus terus dipertahankan,” imbuhnya. (WO-LM)